Banyak kehidupan yang
diceritakan Eka Kurniawan pada novel sepanjang 496 halaman ini. Bermula pada
dari Dewi Ayu dan cerita tentang keluarganya, tapi terus terangkai
bertahun-tahun kemudian melintas berbagai masa dalam Republik ini, bahkan sejak
Republik ini belum benar-benar ada, sejak Belanda dan Jepang masih menguasai
semua sumber daya alam dan manusia terutama di pulau Jawa, hingga memasuki
masa-masa kemerdekaan Indonesia, dan berlanjut sampai peristiwa yang dikenal
dengan nama G30S PKI. Berbeda dengan menonton sinetron dengan beratus ratus
episode, membaca novel ini sama sekali tidak membuahkan kantuk. Novel ini bisa
dianggap menjadi novel fenomenal, novel dengan gaya klasik, serupa tuturan dari
novel era victorian dan cynical seperti karya Gabriel García
Márquez pada Love in The Time of Cholera, tempo
lambat, hampir tanpa jeda yang membuat pembaca seperti sedang maraton tanpa
kesempatan mengambil napas, cara penuturan yang tampak sepadan dengan masa yang
diceritakan. Gaya klasik Eka Kurniawan tidak ragu menggambarkan gairah sex
laki-laki yang muncul akibat memandang seorang perempuan cantik dengan tubuh
molek, ia bahkan menggambarkan sebuah masyarakat yang tampaknya “mesum” dengan
gaya apa adanya.
Eka Kurniawan juga
menggarap karakter setiap tokoh dengan cerdik, Dewi Ayu dan ketiga anak
pertamanya, Alamanda, Adinda dan Maya Dewi punya karakter yang sangat kuat
dengan ciri khas layaknya menyaksikan tokoh-tokoh yang hidup didunia nyata. Si
cantik memang tidak mendapat porsi sebanyak kakak-kakaknya, tapi penulis tetap
berhasil memperkenalkan perbedaan karakter si Cantik melalui penuturan singkat
dan tersirat. Banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang disinggung oleh penulis
dari sudut pandang masyarakat kecil yang tinggal di desa pinggiran pantai di
sepanjang pulau Jawa, yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, dimana
preman-preman berkeliaran di terminal, dan prajurit punya markas-markas di
tengah kota. Novel ini bukan novel horor, tapi penulis dengan jelas
menceritakan tentang hantu-hantu yang berkeliaran di kota, mengganggu penduduk
dan membuat beberapa orang hampir gila, hantu-hantu yang hanya akan pergi
ketika tuan rumah selesai memberi mereka makan. Tidak hanya kehidupan Dewi Ayu
dan tokoh dalam novel ini yang ajaib, tapi novel ini sendiri menurutku ajaib
dalam segala hal. Ajaib yang kumaksud adalah adanya kejadian-kejadian aneh
seperti bayi yang menghilang dari perut seorang ibu layaknya hembusan angin,
hantu-hantu yang berkeliaran di Halimunda yang kubayangkan seperti hantu-hantu
yang ada di kastil Hogwartz, babi yang berubah menjadi manusia.
Cantik itu Luka rasanya
bukan untuk konsumsi semua usia, tidak disarankan anak dibawah umur, karena
imajinasi seksual yang ditampilkan Eka Kurniawan tampak nyata dan mungkin
mengganggu bagi mereka yang terbiasa membaca novel klasik yang sangat sopan.
Kedua novel Eka Kurniawan
sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan novel mendapat judul “Beauty is a
Wound” yang juga pernah dibahas di New York Times. Eka Kurniawan layak disebut
sebagai storyteller yang cakap, karena meskipun butuh napas dan waktu
yang panjang membaca novel ini, tapi pemilihan kata dan rangkaian kalimat yang
digunakan tidak membuatku bosan bahkan sebaliknya tanpa lelah terus membalik
halaman hingga lembar terakhir.
Comments
Post a Comment